Bergerak dari keterbatasan

07.21 Anindhyta P Pradipta 1 Comments

Sabtu pagi kali ini terasa berbeda, saya merasakan ada semangat yang luar biasa dalam diri saya. Biasanya saya lebih suka menghabiskan waktu dengan bersantai di hari Sabtu, namun pagi ini saya sudah mulai mengepak beberapa barang saya untuk mengunjungi suatu tempat. Tak lupa saya masukkan kamera saya, sayang sekali jika nanti ada momen yang saya lewatkan begitu saja.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00, saya harus segera berangkat untuk bertemu dengan salah satu teman saya. Rencananya kami hari ini akan pergi ke Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri untuk melakukan survey pemetaan terhadap masalah pendidikan. Pemetaan ini dilakukan untuk menentukan tema yang akan kami angkat sebagai tema Kelas Inspirasi Wonogiri. Komunitas kami ini bergerak untuk menginspirasi anak-anak sekolah dasar melalui profesi. Anak-anak nantinya akan diperkenalkan dengan beberapa pekerja yang memang sudah ahli di bidangnya, agar nantinya mereka mempunyai gambaran mengenai cita-cita di masa depan dan termotivasi untuk melanjutkan pendidikan hingga cita-citanya tersebut terwujud. Kelas Inspirasi sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, karena hampir di setiap pulau di Indonesia memiliki komunitas Kelas Inspirasi di masing-masing daerahnya.

Akhirnya saya bertemu dengan dua teman saya yang berasal dari kecamatan Girimarto. Dua wanita super ini rela mengendarai motor dan menempuh perjalanan yang jauh demi ikut serta dalam survey kali ini. Luar biasa! Kamipun dengan penuh semangat melanjutkan perjalanan, walaupun sebenarnya tidak ada salah satupun dari kami yang mengetahui pasti letak tujuan yang akan kami kunjungi, bahkan kami tidak memiliki tujuan pasti SD mana yang akan kami kunjungi. Hahahaha, sebutlah ini wanderlust! 

Pergilah kami ke arah selatan dari kecamatan Ngadirojo dengan bermodalkan google map. Kami menempuh perjalanan kurang lebih satu jam untuk sampai di kecamatan Giriwoyo. Begitu sudah sampai, bingunglah kami, manakah SD yang kira-kira bisa menjadi tempat kami menggali informasi mengenai permasalahan pendidikan di kecamatan tersebut. Kamipun memacu kendaraan kami pelan sambil melihat kanan dan kiri apabila terdapat SD. Patokan kami hanya, ada SD, kami belok! 

Pencarian kami berakhir pada sebuah SD yang berada di sudut pertigaan besar antara jalan menuju Giriwoyo, Pacitan, dan Pracimatoro. Kami segera membelokkan arah menuju ke SD tersebut, namun ternyata kondisi SD tersebut masih cukup bagus. Tampaknya SD ini adalah SD induk utama di kecamatan Giriwoyo, dan ketika kami bertanya pada seorang bapak yang kami temui di sekolah ini, memang benar dugaan kami, SD ini adalah SD induk di kecamatan Giriwoyo. Namun kali ini, keberuntungan sedang tidak menaungi kami karena Bapak Kepala Sekolah sedang pergi ke luar kecamatan untuk mendampingi Lomba Pramuka. Pupuslah harapan kami untuk bertemu Kepala Sekolah dan bertanya langsung bagaimana perkembangan pendidikan di Giriwoyo dan permasalahan apa yang dihadapi Bapak Kepala Sekolah selama memimpin sekolah. Kami sedikit bingung akan melangkah kemana setelah ini. Kemudian saya teringat ada sebuah desa di kecamatan Giriwoyo yang memiliki sebuah Rumah Baca yang dibangun oleh local champion. Saya masih ingat betul Rumah Baca tersebut terletak di desa Tirtosuworo, dusun Tlaga Bandung. Lalu, saya beranikan diri untuk bertanya ke pada Bapak yang kami temui tersebut dimanakah letak desa Tirtosuworo tersebut.

“Lurus mawon, mangke sakderenge dalan ajeng teng Pacitan, njenengan belok kanan. Dalane mboten sae, rusak sedoyo” (Lurus saja, nanti sebelum jalan ke Pacitan, belok saja ke kanan. Jalannya tidak bagus, rusak semua). Terang saja, penjelasan itu membuat kami tersenyum simpul. Petualangan baru dimulai, tanpa peta, hanya bermodalkan penjelasan orang, akankah kami menemukan SD tersebut?

Setelah itu kami melewati jalanan yang berliku dan hanya tersusun dari bebatuan serta naik turun, menyusuri tepian gunung yang tandus, benar-benar melelahkan. Kamipun harus berpeluh karena matahari tak berhenti menyengat kami. Namun, tekad kami jauh lebih besar dari kelelahan kami. Pencarian kami akhirnya membuahkan hasil, kami menemukan SD III Tirtosuworo. Pandangan polos anak-anak itu dalam sekejap langsung mengarah kepada kami. Bahkan mereka yang ada di dalam kelaspun ikut keluar untuk melihat kami.

“ Mbaaak, digoleki Ani” (Kak, dicari Ani)

“ Mbaaak, digoleki Deri” (kak, dicari Deri)


Saya dan teman-teman kontan terbahak melihat respon mereka yang begitu antusias melihat kami. Kemudian tak lama datanglah seorang guru yang melihat keberadaan kami. Kamipun dipersilahkan untuk ke kantor dan menunggu sebentar untuk bertemu Bapak Kepala Sekolah yang kebetulan sedang pergi sebentar. Tak begitu lama, datanglah Bapak Kepala Sekolah yang kami tunggu. Lelaki paruh baya tersebut menjabat kami dengan penuh keakraban. 

Awalnya kami menyampaikan tujuan kami kemari dan siapakah kami. Barulah kami bertanya mengenai bagaimana Pak Kasiran, Kepala Sekolah SD III Tirtosuworo ini mengelola sekolah. Rupanya SD III Tirtosuworo ini adalah salah satu dari sekian SD yang selamat dari ancaman penggabungan atau bahkan penutupan karena kurangnya murid. Jumlah total murid SD ini ada 62 orang. Sangat susah untuk mendapatkan murid bagi sekolah-sekolah di desa, dikarenakan kebanyakan penduduk yang tinggal di desa bukanlah penduduk dengan usia produktif. Mayoritas penduduk desa Tirtosuworo adalah kalangan lanjut usia yang tinggal bersama cucu mereka, sedangkan anak-anak mereka memilih untuk merantau ke kota-kota besar, seperti Jakarta. Memang, jika melihat kenampakan alam di Giriwoyo, lahan di daerah tersebut kurang produktif untuk bercocok tanam. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan para penduduk di usia produktif meninggalkan desa mereka untuk merantau. 


Namun kepergian penduduk usia produktif ini ternyata tidak hanya berdampak pada penyusutan jumlah murid, namun juga pada motivasi siswa untuk belajar. Murid-murid biasanya tinggal dengan nenek dan kakek mereka yang tidak peduli, entah mereka ingin sekolah atau tidak. Walaupun jika dilihat dari data beberapa tahun belakangan ini, angka putus sekolah sudah menurun. Ternyata permasalahan pendidikan di daerah cukup pelik, satu masalah akan berkaitan dengan masalah yang lain dan dampaknya tidak sederhana. Tak jarang, Pak Kasiran harus mendatangi rumah murid-muridnya jika salah satu diantara mereka ada yang tidak masuk sekolah dalam waktu lama. Pak Kasiranpun terus memotivasi mereka agar tetap rajin datang ke sekolah. Saya menatap dalam mata Bapak tersebut ketika sedang bercerita, dan kali ini saya hanya bisa menghela nafas panjang. Ah! Betapa mulianya Bapak ini, dia begitu tulus untuk memajukan desanya.




Selain itu, ada satu hal yang menarik dari sekolah ini. SD III Tirtosuworo ini ternyata memiliki proyek mandiri yang disesuaikan dengan muatan lokal sekolah, yaitu di bidang pertanian dan peternakan. Dengan memanfaatkan fasilitas yang ada, Pak Kasiran mengajak guru-guru dan murid-muridnya untuk membuat peternakan ayam yang tidak berbau. Beliau menaburkan arang sekam yang di bawah tempat pemeliharaan ayam mereka. Selain itu, mereka juga melakukan budidaya jamur. Proyek mandiri seperti ini jarang sekali ditemukan di SD-SD lain yang lokasinya di kota. Inisiatif dan inovasi Pak Kasiran ini patut diapresiasi. 


Bergerak dari segala keterbatasan yang ada, bahkan kepedulian pemerintah daerah terhadap pembangunan SD III Tirtosuworo ini, SD ini mencoba untuk tetap bangkit dan terus mendampingi anak-anak desa Tirtosuworo menggapai cita-cita mereka. Keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak maju dan tidak bergerak ke depan. Terkadang, keterbatasan adalah lecutan hebat untuk kita agar kita dapat melesat mengejar mimpi kita. Satu-satunya hal yang kita butuhkan adalah kita harus mempercayai diri kita, mempercayai mimpi kita, dan mempercayai bahwa Tuhan selalu bersama usaha dan doa kita. Terima kasih untuk pembelajarannya SD III Tirtosuworo :)


You Might Also Like

1 komentar:

  1. artikelnya menarik mbk :) stlh tak bca bru nyadar ternyata itu pk kasiran bpknya tmnQ SMA.. hehe

    BalasHapus