Setangkup rindu dari Sasana Tresna Wreda Yayasan Dharma Bakti Wonogiri

01.57 Anindhyta P Pradipta 1 Comments

Siang itu begitu terik, saya melintasi kota yang kecil ini. Kota saya yang kecil telah ramai dengan kendaraan para "boro" atau perantau yang kembali ke kota saya. Biasanya, mereka kembali ke Wonogiri ketika lebaran atau natal, karena jangka waktu liburan yang relatif agak lama dari biasanya sehingga memungkinkan  untuk kembali.

Siang ini, saya tergerak untuk mengunjungi salah satu Panti Jompo yang ada di Kabupaten Wonogiri. Panti ini bernama Sasana Tresna Wreda Yayasan Dharma Bakti Wonogiri. Lokasinya terletak di Jalan Salak 1 No.28 Wonogiri. Tidak terlalu susah untuk menemukannya, ketika sudah menemukan bangunan SDN 1 Wonogiri maka kita akan belok kiri menuju ke arah utara, perempatan kedua dari SDN 1 Wonogiri kita berbelok kanan ke arah utara, maka di ujung jalan kita akan mendapati panti jompo ini.


 Sasana Tresna Wreda Yayasan Dharma Bakti Wonogiri

 Begitulah penampakan bangunan Sasana Tresna Wreda Yayasan Dharma Bakti Wonogiri. Tampak dari luar, bangunan ini terawat dengan baik dan bersih. Langkah saya sempat ragu, bagaimana penerimaan para pengurus terhadap saya nantinya, apa yang harus saya lakukan selama disana, bagaimana keadaan di dalam sana? Namun, saya tidak membiarkan pikiran-pikiran saya tersebut menghentikan niat saya. Lalu, saya mengetuk pintu panti tersebut. Seorang ibu paruh baya menyapa saya, "iya mbak, ada yang bisa saya bantu?" katanya ramah. Awal mulanya ibu tersebut mengira saya adalah seorang mahasiswa yang ingin melakukan observasi. Sayapun menjelaskan maksud kedatangan saya bahwa saya hanya ingin sekedar berkunjung kesana.

Ibu Lasmi, begitu beliau biasa dipanggil, mengajak saya untuk masuk. "Mari dek, kalau mau liat simbah-simbah. Simbah-simbahnya lagi makan". Sayapun mengikuti ibu tersebut masuk ke dalam ruangan. Rupanya itu adalah ruang makan, saya bersalaman dengan beberapa eyang-eyang yang sedang makan. Mereka menjabat tangan saya dengan penuh senyum. satu ketakutan saya menghilang lagi, ternyata saya diterima baik di panti ini.

Saya kemudian diberitahu mengenai ruangan di dalam panti tersebut. Para lansia tersebut menempati 4 buah ruangan terpisah. Dua buah ruangan  yang masing-masing terdiri atas 9 buah tempat tidur, 1 ruangan terdiri atas 2 tempat tidur untuk lansia yang baru saja keluar dari terapi psikologi, dan 1 ruangan untuk para lansia yang membayar sewa. Lalu saya memasuki bagian lain dari panti tersebut, tempat dimana eyang-eyang berkumpul. Terdapat sebuah televisi di ruangan tersebut. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang nenek yang sangat ramah, Mbah Sarijem.  Nenek yang berasal dari daerah Sidoharjo tersebut bercerita bahwa sudah 3,5 tahun berada di panti jompo tersebut.
 

 Lalu saya bertanya mengenai kegiatan kesehaarian nenek Sarijem selama berada di panti. Selama berada di panti, para lansia ini diberikan edukasi dan perawatan kesehatan rutin.  Hal yang patut diacungi jempol, para lansia ini secara mandiri mencuci pakaian dan piring-piring bekas makan mereka sendiri, walaupun ada di panti sebenarnya juga ada tenaga kebersihan. Sesekali apara lansia mendapat kunjungan dari luar yang hendak memberikan sumbangan untuk panti tersebut. Mata nenek Sarijem terlihat berbinar-binar ketika beliau  bercerita bahwa dirinya sering diajak untuk menari dan menyanyi bersama. 

Namun binar matanya itu meredup ketika saya bertanya "putranipun sakpuniko wonten pundi mbah?" (anaknya sekarang ada dimana,mbah?). Beliaupun bercerita bahwa beliau tidak memiliki anak. Beliau mengalami KDRT (kekerasan dalam Rumah Tangga) selama pernikahannya hingga berujung pada perceraian. Akhirnya sang nenek ini tinggal sebatang kara, hingga suatu hari beliau sakit keras. Beliau kemudian diambil oleh Ibu Lasmi untuk di rawat di panti tersebut. Para lansia yang ada di panti tersebut memiliki kisah masing-masing bagaimana akhirnya mereka dapat sampai di panti tersebut, ada yang dititipkan oleh keluarganya dan ada yang memang terlantar lalu diambil.

Setelah kurang lebih satu jam saya bercerita dengan nenek Sarijem ini, saya pamit pulang. Saya mengantarkan nenek Sarijem ini masuk ke dalam kamarnya. Nenek terlihat tidak ingin ditinggal, kemudian saya berkata "Mboten nopo-nopo mbah, mangke kulo mriki malih. Griyo kulo namung celak (Tidak apa-apa mbah, nanti saya mampir lagi. Rumah saya dekat)". Barulah beliau melepas tangan saya dengan tersenyum, sembari mengucapkan terima kasih. Sayapun menyalami nenek-nenek lainnya yang berada di dekat tempat nenek Sarijem. Ada seorang nenek yang sudah sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan melihatpun sudah tidak jelas, dan hanya mampu tergeletak di tempat tidurnya. Walaupun belum sempat mengobrol dengan nenek tersebut, nenek tersebut berucap "matur nuwun ya, nduk. Simbahe wis ditiliki( terima kasih ya, Nak. Nenek sudah dijenguk)". 

Rasa haru menyelimuti relung batin saya. Bahkan saya sama sekali tidak memberikan apapun bagi mereka. Namun ternyata memberikan "kehadiran" itu terkadang sesuatu yang berharga bagi orang lain. Saya tidak membayangkan bagaimana berada di posisi mereka ketika keluarganya lebih memilih untuk menitipkan saja ke panti jompo daripada tidak ada yang mengurus atau kerepotan. Padahal, nenek-nenek itu juga dulunya adalah orang yang mengandung, merawat, dan membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang, namun ketika mereka menua, anak-anak mereka berdalih dengan berbagai alasan hingga akhirnya memilih untuk menitipkan saja ke panti jompo. 


Ketika kita kecil, orang tua kita begitu sabar untuk merawat kita. bekerja keras dari pagi hingga sore, malam haripun harus rela terbangun jika kita merengek. Mengajari kita bagaimana agar kita dapat berjalan dan berlari, hingga kita beranjak dewasa dan memiliki hidup sendiri. Ketika kita beranjak dewasa, orang tua kita pun menua. Otot-otot merekapun melemah begitupula dengan kerja sistem organ mereka. Jika dulunya kita yang dirawat orang tua, maka kini saatnya kita yang merawat orang tua kita. Pertemuan dengan para lansia ini mengajarkan kepada kita bahwa janganlah kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi kita, sempatkan waktu paling tidak dalam sehari sekali untuk menghubungi mereka. Sekalipun kehadiran fisik mungkin tidak dapat kita berikan, namun setidaknya batin dan pikiran kita bersama dengan mereka.

You Might Also Like

1 komentar: